Refleksi Akhir Tahun 2012, Kehidupan Keagamaan



Salah satu fungsi utama agama, menurut Prof. Komaruddin Hidayat, adalah menjadi pelita kehidupan. Meskipun terdapat banyak agama, baik agama samawi (wahyu) maupun ardhi (agama non wahyu), ia tetap merupakan pelita kehidupan. Dalam pluralitas agama dan aliran ini, tidak relevan mempertanyakan mana agama atau aliran yang paling benar. Dalam ungkapan metafora, ia menyebut ragam agama dan mazhab itu laksana ratusan sungai yang mengalir dari berbagai penjuru arah, melewati berbagai daratan, lembah dan pegunungan yang berbeda-beda, tapi muaranya satu, yaitu samudra (laut).

Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan keburukan kepada pemeluknya. Semuanya mengajarkan kebaikan, baik itu kebaikan terhadap sesama maupun lingkungan sekitar. Semuanya juga menjanjikan kebahagiaan hidup tidak hanya di dunia, melainkan juga di akhirat. Semuanya membimbing manusia ke jalan yang benar. Karena itu, penghormatan dan penghargaan terhadap agama lain mesti dikedepankan. Inilah titik persamaan yang paling inti dari agama-agama itu. Pemaksaan terhadap seseorang untuk masuk ke dalam suatu agama tertentu, jelas tidak bisa dibenarkan.

Penghargaan dan penghormatan terhadap agama lain akan dapat diterapkan jika masing-masing pemeluk agama memahami domain agama. Ada empat domain agama.

Pertama, domain pribadi. Pada domain ini, seseorang memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk meyakini dan mengembangkan keyakinan agamanya. Pada domain inilah ketulusan dan keikhlasan dalam beriman diuji.

Kedua, domain jamaah (komunal). Pada domain ini, paham keagamaan dan iman seseorang terbentuk dan terbina secara efektif. Pada domain ini, idiom dan simbol agama secara eksklusif bebas dikemukakan, karena pesertanya bersifat homogen dan eksklusif.

Ketiga, domain sosial. Pada domain ini, komunitas sebuah agama akan bertemu dengan komunitas agama lain. Dalam ranah sosial ini, yang berlaku adalah hukum negara (hukum positif).

Keempat, domain negara. Pada domain ini, agama kerap berwajah ganda. Di satu wajah agama ingin menegakkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan politik, tapi di wajah lain terlihat haus dan kadangkala seram serta menakutkan karena agenda utamanya adalah menjadikan negara sebagai negara-agama (teokrasi). Kalaupun tidak demikian, doktrin-doktrin agama dijadikan regulasi atau hukum positif yang mengikat semua. Dalam konteks negara yang berdasarkan Pancasila, upaya menjadikan negara-agama tidak bisa dibenarkan.



Agama dalam kehidupan ditengah masyarakat
Sepanjang tahun 2012 ini tercatat banyak sekali pola kehidupan keagamaan ditengah masyarakat diwarnai berbagai corak, mulai dari tindakan kekerasan atas nama agama, penistaan agama atau penodaan agama sampai tindakan yang berkedok agama.
Menurut data pengaduan Komnas HAM, pada tahun 2012 terdapat 58 berkas pengaduan yang berhubungan dengan isu kebebasan beragama, seperti kasus penyerangan kaum Syiah di Sampang-Madura. Bentrokan warga dengan Jamaah Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten. Dan masih banyak kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi tanpa solusi yang tegas dan efektif meski telah menelan kerugian materi dan nonmateri yang tak sedikit.
Di Indonesia, agama selalu menjadi isu yang sangat sensitif. Konflik ekonomi dan budaya bisa akhirnya berbuntut menjadi konflik agama. Agama selalu menjadi bulan-bulanan. Konflik horisontal yang selalu membawa-bawa nama agama tidak berdiri sendiri. Kekerasan atas nama agama yang tidak pernah diselesaikan dengan tegas menjadi salah satu faktor penyebab mengapa konflik ini tak pernah mati di Indonesia. Para aktor kerusuhan tak mendapat sanksi yang tegas. Akibatnya, tak ada efek jera.
Di sisi lain, pemerintah selalu gagal untuk menciptakan komunikasi yang konstruktif antar pelaku konflik. Persoalan perbedaan tidak bisa selesai hanya dengan kekerasan. Tapi dibutuhkan dialog sehingga perbedaan itu dihormati. Jika perbedaan tak pernah dihormati, maka selamanya kekerasan yang didasari pemikiran lebih benar dari orang lain akan tetap hidup dan membunuh nyawa-nyawa lainnya.
Kekerasan atas nama perbedaan agama juga wujud kegagalan pemerintah dan ulama untuk mengajak umat berpikir secara logis akan perbedaan. Bahwa perbedaan adalah hak setiap makhluk hidup. Tuhan sebagai pemilik kehidupan tentu lebih mencintai jika umatnya saling menyayangi, bukan saling membunuh antar sesama.
Negara dan ulama adalah milik seluruh umat. Keduanya adalah elemen yang melindungi umat tanpa membeda-bedakan. Bukankah lebih indah hidup dengan kebersamaan, saling menghargai dan penuh toleransi. Karena perang hanya selalu membawa malapetaka.(mcn)

Previous article
Next article

Belum ada Komentar

Posting Komentar

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel