Menghentikan Dualisme Kepemimpinan NU

Dr .H . Ahmad Fahrur Rozi

Menyongsong usia satu abad Nahdlatul ulama dan kegaduhan pra  muktamar NU ke 34 di Lampung akhir tahun ini  kepemimpinan  PBNU benar-benar diuji . Tugas pemimpin di saat krisis adalah menjaga dan mengamankan organisasi yang ia pimpin agar tidak terkena bahaya, sekaligus memanfaatkan berbagai peluang untuk keluar, lalu membalik situasi krisis menjadi kesempatan yang menguntungkan.


Telah terdengar kabar rapat pucuk pimpinan NU terdiri dari Rais Am, Katib Aam, Ketum dan sekjen PBNU di Jakarta minggu kemarin menemui jalan buntu sehingga Rais aam menentukan sendiri jadwal muktamar dipercepat.  Kabar terakhir pertemuan yang difasilitasi oleh KH Mustofa Bisri di Semarang , 5/11/2021 kemarin , juga belum menemukan titik temu kesepakatan bersama antara ketum PBNU dan Rais Am tentang penetapan jadwal muktamar.


Struktur kepengurusan di Nahdlatul Ulama (NU) bisa dibilang memang agak berbeda dengan organisasi lainnya. Jika diartikan secara harfiah,  NU memiliki dua 'Ketua Umum' dengan adanya posisi Rais 'Aam dan Ketua Umum itu sendiri. Bagaimana bisa? 


Rais 'Aam (atau kadang ditulis Rais Am,) diambil dari bahasa Arab yang berarti Ketua Umum, sementara itu NU memiliki Ketua Umum  Tanfidziyah (pelaksana) yang beranggotakan pengurus harian seperti organisasi lainnya, tetapi dalam tradisi NU, sesungguhnya Rais Am adalah   jabatan  pemimpin tertinggi NU sebagaimana disebutkan dalam Anggaran  Dasar  NU Bab VII pasal 14 ayat 3  bahwa  ;  Syuriyah adalah pemimpin tertinggi Nahdlatul ulama . Selanjutnya dalam  Pasal 58 ART ayat 1 A . Disebutkan bahwa kewenangan Rais Am adalah :  Mengendalikan kebijakan secara umum .

Dalam struktur kepengurusan NU, syuriyah menempati posisi paling utama. Pada awal berdiri, yang justru dikenal publik adalah para syuriyah itu , hingga Muktamar NU kedelapan di Jakarta, 1933, tidak ada rapat khusus tanfidziyah meski saat itu telah ada kepengurusannya. Barulah di Muktamar NU setahun kemudian, diadakan rapat tanfidziyah secara khusus dan  jabatan ketua Tanfidziyah diangkat oleh Rois Am.


Menurut Presiden Hoopd Bestuur Nahdlatoel Oelama (sekarang istilahnya Ketua Umuma PBNU) Mahfud Shiddiq mengatakan  syuriyah berarti ruh, sedangkan tanfidziyah jasad atau jasmani. Kedua kelompok ini tidak boleh terpisah dari NU.  Tanfidziyah tidak bisa melakukan pergerakan organisasi tanpa sepengatahuan syuriyah. 
(NU.or.id , 17 /2/ 2018).


Ajaran Islam sejak awal melarang keberadaan dua pemimpin sederajat bagai dua matahari kembar karena jelas akan menyebabkan kekacauan,    dualisme kepemimpinan oleh  dua orang pemimpin yang memiliki kewenangan dan otoritas yang sama dan dalam periode kepemimpinan yang sama dalam sebuah organisasi  pasti menimbulkan dampak negatif.


Tidak boleh ada matahari kembar atau bahkan lebih dari dua matahari secara syariat sebagaimana dijelaskan dalam keterangan Imam Al-Mawardi berikut ini: فأما إقامة إمامين أو ثلاثة في عصر واحد ، وبلد واحد فلا يجوز إجماعا
 Artinya, “Adapun.      pengangkatan dua atau tiga pemimpin pada periode pemerintahan yang sama dan untuk wilayah tertorial yang sama tidak boleh menurut ijmak ulama,” (Lihat Imam Al-Mawardi, Adabud Dunia wad Din, [Beirut, Darul Fikr: 1992 M/1412 H], halaman 97). 


Rasulullah SAW mengisyaratkan bahaya dualisme kepemimpinan dengan mengingatkan agar menciptakan kondisi kepemimpinan tunggal dengan cara mematuhi seorang pemimpin yang sah di zamannya.


 وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: إذا وليتم أبا بكر تجدوه قويا في دين الله عز وجل ضعيفا في بدنه. وإذا وليتم عمر تجدوه قويا في دين الله عز وجل قويا في بدنه، وإن وليتم عليا تجدوه هاديا مهديا. 


Artinya, “Diriwayatkan dari Nabi.   Muhammad SAW bahwa ia bersabda, ‘Jika kalian mengangkat Abu Bakar RA, niscaya kalian akan menemukan pemimpin yang kuat dalam agama Allah SWT dan lemah fisiknya. Tetapi jika kalian mengangkat Umar RA, niscaya kalian mendapati orang yang kuat agamanya dan kuat fisiknya. Sedangkan jika kalian mengangkat Ali RA, niscaya kalian menemukan pemimpin yang dapat memberi petunjuk dan pemimpin yang mendapat petunjuk (dari Allah),’” (Lihat Imam Al-Mawardi, Adabud Dunia wad Din, [Beirut, Darul Fikr: 1992 M/1412 H], halaman 97). 


Sejarah telah membuktikan bahwa dualisme kepemimpinan berujung pada perebutan pengaruh dengan segala cara, chaos atau kacau-balau. Pasalnya, dalam dualisme kepemimpin tentu terdapat konflik kepentingan yang hampir tidak mungkin didamaikan. 


Mungkin di arena muktamar Lampung mendatang perlu dilakukan penegasan kembali pola kerja dan wewenang lembaga Syuriyah dan Tanfidziyah agar tidak terjadi dualisme kepemimpinan dalam pucuk pimpinan NU. Penulis berpendapat sekiranya dapat dilakukan peninjauan kembali AD ART pemilihan Ketua Tanfidziyah agar dikembalikan kepada sistem pengangkatan ketua umum PBNU oleh Rais aam dan jajaran dibawahnya ,  agar  kinerja Syuriyah dan Tanfidziyah sepenuhnya dapat terkordinasi dengan baik dan tidak terdapat dualisme kepemimpinan di tubuh Nahdlatul Ulama. 

Malang, 6/12/2021

*Penulis adalah Wakil ketua PWNU Jatim, Wakil Sekjend MUI pusat, Ketua RMI PBNU 2004-215, Pengasuh Pondok Pesantren ANNUR 1 Bululawang Malang 🙏🙏🙏
Previous article
Next article

Belum ada Komentar

Posting Komentar

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel